Sunday, August 15, 2010

Cerita dari Dolly

Judul buku : Existere

Penulis : Sinta Yudisia

Penerbit : Lingkar Pena, Juni 2010

Hal : 382 halaman

PROSTITUSI sudah menjadi bagian dari sejarah peradaban. Ia masih dan akan tetap menjadi problem sosial sekaligus kontroversi moral, di daerah atau negara mana pun. Faktor ekonomi adalah dalih klise yang mendominasi mereka yang terjun dalam lembah prostisusi. Di sisi lain, sebagian kalangan tak segan memberi stigma negatif kepada mereka, tutup mata, dan tak memberi solusi konkret yang positif untuk membendung akar permasalahan menjamurnya prostitusi.

Prostitusi kerap dijadikan tema karya sastra. Adalah Sinta Yudisia, salah satu novelis produktif negeri ini, Juni kemarin menerbitkan novel teranyarnya bertajuk Existere. Novel yang terdiri dari 12 bab ini pun berkisah tentang dunia prostitusi. Penulis yang berdomisili di Jawa Timur, mengeksplorasi problematika sejumlah penghuni Dolly. Sudah menjadi rahasia umum, Dolly adalah lokasi prostitusi tersohor di Surabaya yang konon terbesar di Asia Tenggara.

Novel ini dibuka dengan kemiskinan keluarga Jamilah yang tinggal di pinggiran Kota Tegal. Jamilah sebagai anak sulung menjadi saksi dari kemiskinan keluarganya. Ibunya pekerja keras dan cenderung penuntut, bapaknya memilih "jalan surga" hingga terkesan abai pada kebutuhan dan tuntutan rumah tangga. Jamilah memutuskan hengkang dari kemiskinan, terdampar di Dolly, menyulap namanya menjadi Mila, hingga menjadi pelacur kelas atas di Surabaya. Mila yang berasal dari lingkungan religius, hidup dalam paradoks. Satu sisinya sadar bahwa dia hidup bergelimang dosa, sisi hatinya yang lain bersyukur karena uang yang didapatnya dari jual tubuh bisa menghidupi keluarganya di kampung. Bapak Mila yang tetap mencekoki ajaran-ajaran agama saat Mila pulang, tak mengetahui uang kiriman anaknya adalah uang haram.

Tokoh lain yang menjadi sentral novel ini adalah Almaida, anak yang menjadi boneka orang tuanya. Ibu sibuk bisnis, bapak tipikal suami takut istri, hingga nyaris diperkosa kakak kandungnya. Ibunya yang ambisius mengirim Maida ke pesantren, demi tak terbongkar aib keluarga bahwa Maida bukan anak pintar. Ada lagi sosok Ochi, aktivis perempuan yang mendirikan komunitas untuk orang-orang tersisih dari lingkungan dan keadaan. Ochi yang bersuamikan Yassir, bertahun-tahun belum dikaruniai anak. Rumah tangga mereka terusik ketika hadir Vanya, sahabat Ochi semasa kuliah, yang menyambi menjadi penari striptis. Asmara segitiga antara Ochi-Yassir-Vanya tak terelakkan. Ihwal poligami yang acap jadi onak bagi perempuan pun dihidangkan dalam novel ini.

Benang merah yang mempertemukan para tokoh wanita ini mulai terkuak di pertengahan novel. Mila ternyata menjadi wanita simpanan Bapak Almaida. Mila yang pelacur dan Maida yang lugu menjalin ikatan pertemanan. Bagaimana solusi poligami antara Ochi-Yassir-Vanya? Bagaimana nasib Mila, Maida, dan tokoh-tokoh lainnya bisa disimak menjelang akhir novel. Penulis novel ini telah mengurai psikologis ketiga perempuan dengan latar belakang dan nasib berbeda. Maida atau Ochi yang berasal dari keluarga kaya, atau Mila yang dari keluarga miskin, tokoh-tokoh ini tanpa terkesan menggurui pembaca, telah mengajarkan bahwa tak ada manusia yang steril dari masalah.

Sejumlah ironi di balik dunia prostitusi Dolly yang mungkin tak kita ketahui sebelumnya, bisa kita temukan dalam Existere; mucikari yang naik haji dari menjual pelacur, pelacur yang dalam kondisi hamil masih melayani tamu, korban HIV/AIDS prostitusi sebagai penyumbang terbesar bagi PAD Surabaya (konon puluhan miliar per bulan), dan sebagainya. Hal-hal luhur pun, aktivitas sosial yang dilakukan sejumlah orang untuk membantu para korban AIDS, mucikari tobat, membantu pelacur yang hendak mundur dari dunia hitam, dan sebagainya. Dampak ekonomi dan sosial bagi warga yang menggantungkan hidup di Dolly. Tinggal memilih dari perspektif mana menilainya, motif ekonomi atau moral.

Sayang, eksplorasi fiksi dan fakta kelam prostitusi di Dolly dalam novel ini terasa kurang lengkap tanpa menyertakan sejarah atau muasal Dolly. Ia konon sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, ketika menjadi kota pelabuhan dan pangkalan angkatan laut. Standar ganda terhadap pelacuran, tidak dilegalkan tapi banyak bisnis ini secara terselubung. Industri seks di Dolly, pelacuran akan tetap ada selama konsumennya tetap ada.

Sejumlah kesalahan penyuntingan aksara yang terdapat dalam novel ini, tak cukup mengganggu kenikmatan membaca Existere. Novel ini menjadi semacam pemantik tekstual kepada pembaca untuk mengingatkan bahwasannya masih banyak prostitusi semacam Dolly di negeri ini, yang terselubung ataupun yang terang-terangan. Dan bagi pembaca yang penasaran tentang makna existere itu sendiri, bisa mengetahuinya di bagian epilog novel ini.

Arman A.Z., Pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Agustus 2010

No comments: