Sunday, February 07, 2010

”Motor Aing Kumaha Aing”

TEKS yang menjadi judul tulisan ini amat mudah Anda temukan di jalanan. Menempel sebagai stiker (gambar tempel) yang dilekatkan di tétébéng (sepatbor) atau bagian belakang sepeda motor. Warna dasarnya biasanya kuning dengan tulisan hitam, atau ada juga yang menggunakan warna dasar hitam dengan tulisan putih. Secara harfiah, arti teks itu ”motor saya terserah saya”. Akan tetapi ungkapan ini seakan juga merupakan reaksi penolakan atas keseragaman dan kemapanan model atau bentuk sepeda motor yang telah menjadi standar. Meski anehnya, tidak sedikit stiker itu ditempel di sepeda motor yang juga model dan bentuknya standar.




Tak hanya ungkapan seperti itu yang akan kita temukan akhir-akhir ini di Bandung. Banyak sepeda motor yang menempelkan stiker dengan ungkapan semacam itu akhir-akhir ini di sepatbor belakangnya. Menariknya, ungkapan itu dilontarkan dalam bahasa Sunda yang kasar, liar, khas anak muda jalanan yang kerap mengundang senyum.

Di lampu merah atau dalam kemacetan kita akan mudah membaca ungkapan semacam ini; ”Saprak Aing Teu Gableg Motor na...bet Jadi Ngadadak Jomblo” (Sejak Saya tidak Punya Motor Kenapa Jadi Mendadak Jomblo); ”Aing Ngebut Kumaha Aing” (Saya Ngebut Terserah Saya), ”Kalem Hareupeun Aink Aya Nu Meuntas” (Tenang di Depan Saya Ada Orang Menyeberang); ”Sok Tuturkeun Aing” (Ayo Buntuti Saya). Atau varian dari yang telah ada sebelumnya, ”Motor Aing Kumaha Aing, Motor Bapak Aing Ruksak Ku Aing” (Motor Saya Terserah Saya, Motor Bapak Saya Rusak oleh Saya); ”Rek Make Gigi Atawa Henteu Nu Tumpak Aing Lain Sia” (Mau Pake Persneling Atau tidak yang Mengendarai Saya Bukan Kamu).

Tidak sedikit juga ungkapan yang tak ada hubungannya dengan konteks sepeda motor, misalnya yang berhubungan dengan Persib; ”Persib nu Aing” (Persib Punya Saya); ”Bobotoh Persib sa-Alam Dunya” (Pendukung Persib Seluruh Dunia); ”Aing Pendukung Persib Sia Pendukung Saha..?!!” (Saya Pendukung Persib Kamu Pendukung Siapa?!!), ”Sia The Jak Aing Viking Sia Ngejek Ku Aing Banting” (Saya Viking Kamu The Jak Kamu Ngejek Saya Banting). Atau yang mengungkap dunia privat, ”Pamajikan Sia Urut Kabagoh Aink” (Istri Kamu Mantan Pacar Saya); ”Beungeut Aing Kumaha Aing Kabogoh Maneh Keur Aing” (Wajah Saya Terserah Saya Pacar Kamu Buat Saya).

Di sisi lain, stiker berbahasa Sunda yang bergaya khas anak muda itu, sekaligus tampaknya juga menjawab tuduhan bahwa mereka sudah malu dan tidak mau menggunakan bahasa Sunda karena dianggap kampungan. Oleh karena itu, lepas dari soal undak usuk tata bahasa, kritikus sastra Sunda Teddi Muhtadin melihat fenomena tersebut sebagai perkembangan menarik ketika bahasa Sunda berani tampil di ruang publik dengan penuh percaya diri.

Tampaknya inilah yang ditengarai kemunculannya dalam buku "Stiker Kota" (2008). Dalam buku yang mencatat dan mendata perkembangan desain serta berbagai ungkapan stiker kota di Indonesia sejak 1970-an itu, dikemukakan sejumlah perkembangan stiker yang mulai menggunakan bahasa daerah yang cenderung berpesan secara bebas. Kemunculan ini dianggap menarik karena mulai adanya kebutuhan untuk lebih berkomunikasi dalam lingkup lokal, sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada. Kemungkinan munculnya hal ini karena memudarnya sentralisasi dan tumbuhnya kesadaran bahwa kota adalah tempat segala keberagaman seharusnya saling bersisian tanpa rasa canggung.

**

LEBIH dari sekadar teks dengan berbagai ungkapannya yang kasar, liar, dan konyol, stiker-stiker itu sesungguhnya juga menyediakan dirinya untuk dihampiri sebagai bagian dari fenomena semiotika dalam gaya berbahasa khas kelompok subkultur. Kritikus sastra dan dosen FSRD ITB Acep Iwan Saidi mencoba mengorelasikan ungkapan dalam stiker tersebut dengan gejala bahasa yang terjadi pada kelompok subkultur punk di Inggris dan Amerika Serikat.

Gejala bahasa dalam kelompok subkultur ini merupakan sesuatu yang melampaui apa yang dimaktubkan oleh semiotika tradisional yang senantiasa melihat hubungan mapan antara tanda dan rujukannya dalam memproduksi pesan.

Mereka bertutur, baik verbal maupun nonverbal (termasuk visual), dengan cara paling kasar. Mereka meludahi siapa saja, bahkan meludahi dirinya sendiri. Dan yang lebih penting, mereka mengambil segala sesuatu untuk menghilangkannya, mengambil yang telah diciptakan untuk merusaknya, menggunakan etika standar untuk mengejeknya, dan seterusnya.

”Cara bertutur para biker lewat stiker-stiker tersebut, sedikit banyak saya kira juga mendapat percikan pengaruh dari kelompok subkultur yang menggejala di Barat itu. Jika kita perhatikan bahasa yang digunakan pada stiker-stiker itu tampak bahwa mereka memakai bahasa tersebut justru untuk merusaknya pula. Nyaris tidak ada kesinambungan logika sintaksis dan semantik di dalamnya. Perhatikan, misalnya, ungkapan ’Motor Aing Kumaha Aing, Motor Bapak Aing ruksak Ku Aing’, ’Bengeut Aing Kumaha Aing Kabogoh Maneh Keur Aing’. Karena logika sintak dan semantiknya telah dihancurkan sedemikian, formulasi semiotikanya jelas menjadi berantakan,” tuturnya.

Oleh karena itu menurut dia, yang harus dilihat bukan tanda-tanda yang saling berhubungan, tetapi bagaimana proses penandaan itu diciptakan. Merujuk pada analisis dan pemikiran Dick Hebdige, W. Burroughs, dan J.Clarke terhadap gejala subkultur di Barat, ia menyebut ungkapan-ungkapan itu merupakan ekspresi kebebasan (pemberontakan paling liar sekalipun) dari kelompok yang (merasa) terpinggirkan oleh kultur yang telah mapan dan mendominasi. Jalan sebagai tempat ekspresi kian mendukung keliaran tersebut sebab jalan adalah ruang publik di mana massa (anggota) bisa dimobilisasi. Jalan adalah tempat yang tepat untuk mempertunjukkan keliaran itu sebab jalan bisa menjadi pusat tontonan bagi masyarakat yang dilewatinya.

Hanya, kata dia, yang harus dilihat lebih jauh adalah apakah gejala itu telah sampai pada tingkat ideologis atau apakah keliaran merupakan pilihan hidup yang diyakini secara ideologis? Ini penting dilihat mengingat masyarakat cenderung sering menjadi pengikut yang tak paham apa yang diikutinya.

Abdul Hamid memandang bahwa stiker-stiker tersebut diproduksi dan dikonsumsi dengan kesadaran ideologis meski dipraktikkan secara iseng. Abdul Hamid justru lebih menghubungkannya dengan ekspresi dari proses pencarian artikulasi diri khas anak-anak muda.

Dalam pandangannya, secara semiotika stiker-stiker itu umumnya memperlihatkan adanya hegemoni ”Aing” yang berkuasa atau bisa juga untuk melawan kekuasaan dan kekuatan yang menekan. Kalimat ”Motor Aing Kumaha Aing” memperlihatkan si ”Aku” memiliki pilihan sendiri yang berbeda dengan pilihan orang lain.

Acep Iwan Saidi sependapat bahwa ungkapan itu menyiratkan adanya hegemoni ”Aing”. Akan tetapi, hegemoni itu tidaklah membawa pengertian pada ”Aku” yang lantas dipahami sebagai subjek. Dengan merusak logika sintaksis dan sematiknya, ungkapan dalam stiker tersebut tidaklah melulu membidik sesama pengguna jalan semata, tetapi lingkup lebih besar yang hendak menguasainya. ”Aing”, dengan demikian, tidak lagi merujuk pada ”Aku” sebagai subjek yang individualis semata. Akan tetapi ”Aku” sebagai resisten, ”Aku” yang melawan, dan akhirnya ”Aku” yang menguasai.

Tentang ”Aing” yang cenderung diberi label sebagai kata yang kasar untuk menunjuk diri sendiri, Teddi Muhtadin membacanya memang tak ada kata ganti orang pertama (pronomina persona) yang tepat digunakan untuk mengekspresikan kedirian seperti itu, kecuali kata ”Aing”. Dalam undak usuk bahasa Sunda, ”Aing” dikelompokkan sebagai ragam bahasa kasar, padahal pada zaman dahulu ”Aing” biasa dipakai oleh raja atau pun rakyat. ”Aing” merupakan warisan dari bahasa Sunda pra-undak usuk.

Anehnya, kata dia, meskipun bahasa Sunda sudah memiliki pronomina persona pertama lain, orang Sunda sering gamang dalam menyebut kata ganti untuk dirinya. Sudah ada pilihan kata seperti ”Kuring”, ”Abdi”, ”Sim Abdi”, ”Sim Kuring”, ”Kami”, ”Kula”, ”Déwék”, ”Sayah”, masih juga menggunakan ”Pribados” atau ”Di dieu” yang secara linguistik kurang tepat. Dalam kegamangan ini pilihan kata ”Aing” menjadi unik. Barangkali kemunculan kata ”Aing” itu semacam atavisme dalam sajak atau kemunculan budaya residual dalam konsep hegemoni Raymond Williams.

”Saya kira stiker di tétébéng motor itu adalah ruang ekspresi dan komunikasi di antara para pengendara, seperti halnya gambar dan berbagai tulisan di belakang truk. Dan, pilihan bahasa ’Aing’ memang lebih pas,” ujar Teddi. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Februari 2010

1 comment:

urang sunda said...

sok anak anak bandung dan anak anak jawa barat yang lainya kembangkan kreatifitas di bidang apa saja kecuali yang negatif