Sunday, November 15, 2009

Perlawanan Suku Naga

KARENA terus memberitakan penggusuran orang-orang Suku Naga dari desanya demi pembangunan sebuah projek pertambangan asing, Carlos (Irwan Jamal), wartawan itu, akhirnya dicabut izin tinggalnya. Pemberitaannya telah membuat pemerintah Astinam berang. Akan tetapi, segala cara harus dilakukan demi terwujudnya projek tersebut, demi apa yang mereka imani sebagai pembangunan dan kemajuan. Maka, orang-orang Suku Naga pun bersiap bertahan.

ADEGAN Dalang (Gusjur Mahesa dan Rinrin Chandraresmi) dalam pertunjukan "Kisah Perjuangan Suku Naga" karya W.S. Rendra dengan sutradara Yusep Muldiyana, yang dipentaskan di Saung Angklung Udjo, 11-15 November 2009.* M. GELORA SAPTA/"PR"

Bukan hanya demi desa dan tanah yang diwariskan leluhurnya, tetapi demi hak dan martabat kebudayaan mereka. Mereka berkumpul melepas Carlos seraya membentuk barisan. Lalu berkatalah Kepala Suku Naga Abisavam (Ayi Kurnia Iskandar), "Kenapa mesti gentar dalam menjaga keseimbangan? Menjaga daya hidup mendatangkan ketenangan".

Perlawanan Suku Naga adalah perlawanan ketika keseimbangan diusik oleh kekuasaan dan modal yang mengatasanamakan pembangunan dan kemajuan. Keseimbangan antara manusia dan alam. Kekuasaan dan modal tengah mengancam keseimbangan itu. Kemajuan yang diajarkan oleh kebudayaan industri melulu memaknai seluruhnya adalah modal dan keuntungan, termasuk alam dan manusia.

Di tengah kebudayaan serupa itulah negara Astinam dipenuhi oleh penguasa yang sakit, bermental feodal, korup, serakah, juga para anggota parlemen yang tak ubahnya paduan suara dengan tabiat yang tak ubahnya para bajak laut dan perompak. Negara-negara maju yang menjadikan pasar sebagai panglima terus merangsek dengan kedok kemajuan dan modernitas. Kredit dikucurkan demi pasar bagi produk mereka, juga ekspansi perusahaan-perusahaan transnasional yang mengeruk kekayaan alam negara Astinam.

Kapitalisme global berkedok kemajuan dan modernitas yang merangsek sejumlah negara berkembang yang menyebabkan kerusakan alam dan terancamnya komunitas-komunitas budaya lokal dengan segenap sistem nilainya. Inilah yang diusung dalam pertunjukan "Kisah Perjuangan Suku Naga" karya (alm.) W.S. Rendra (1935-2009) dengan sutradara Yusep Muldiyana dan Co-Sutradara Gusjur Mahesa, di Saung Angklung Udjo (SAU) Bandung, selama lima hari (11-15 November 2009).

Pertunjukan kolosal yang dimainkan oleh 90 seniman Bandung yang terdiri dari aktor, penari, perupa, dan pemusik, ini merupakan bagian dari rangkaian "Bandung Mengenang Rendra" yang telah berlangsung sejak 28 Oktober 2009. Mengambil konsep teater rakyat, pertunjukan berlangsung cair dan komunikatif sebagai sebuah tontonan. Tak hanya lewat nyanyian, koor, gerak, dan tarian, atau eksplorasi musik yang dinamis dan segar. Akan tetapi juga lewat kritik-kritik sosial yang dilontarkan oleh Dalang (Rinrin Chandraresmi dan Gusjur Mahesa) yang mengundang gelak penonton.

Tak hanya itu, para penguasa dan anggota parlemen pun dihadirkan dengan tabiat dan sosoknya yang ganjil. Mereka adalah makhluk-makhluk yang lebih dari sekadar menggelikan tetapi juga aneh dan tampak sakit. Sosok mereka sebagai penguasa dan elite negara adalah sosok yang lebih pantas ditertawakan. Tak ada apa pun yang mereka pikirkan kecuali uang dan kekuasaan. Sebaliknya, orang-orang Suku Naga adalah representasi dari ketenangan manusia dalam keseimbangannya bersama alam. Mereka adalah orang-orang yang riang bersama alam yang mengajarkan mereka kearifan.

**

LAKON yang ditulis Rendra pada 1975 ini merupakan reaksinya atas ideologi politik pembangunan yang diimani oleh rezim Orde Baru. Sebuah ideologi yang memuja pertumbuhan ekonomi demi apa yang dipercaya sebagai kemajuan. Ideologi ini dibangun dengan budaya politik feodal yang melahirkan perangai kekuasaan yang korup. Demi pembangunan dan kemajuan inilah demokrasi berubah menjadi dagelan yang menyedihkan. Dan demi ideologi ini pula negara menjual apa pun demi para investor asing, termasuk kekayaan alam dan kebudayaan.

Meski lakon ini mengambil konteks Indonesia 1975, semasa rezim Orde Baru, tetapi gagasan kesadaran di dalamnya tetaplah menemukan aktualitasnya hingga hari ini, yakni modernitas yang diusung kapitalisme global dan neoliberalisme yang terus mengancam kekayaan alam dan hak-hak budaya masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat. Demikian pula dengan perangai kekuasaan di dalamnya. Perubahan sosial-politik tampaknya tidaklah begitu saja mengubah mentalitas para penguasa yang serakah dan korup. Demikian pula dengan para anggota parlemen.

Tampaknya ini disadari oleh duet sutradara Yusep Muldiyana dan Gusjur Mahesa. Meski sebagian penonton berusia muda tak begitu mengalami masa pemerintahan Orde Baru sehingga mereka terjarak dari sejumlah idiom yang menyindir demokrasi ala Orde Baru, misalnya, Ketua Parlemen (Irwan Guntari) yang berpakaian kuning-kuning atau para anggota parlemen yang selalu mengulang-ulang apa yang diucapkan oleh Ratu (Adinda Lutvianti), secara keseluruhan pertunjukan ini mampu menyaran pada gagasan kesadaran ihwal kolaborasi negara dan kapitalisme global dalam menggerus kekayaan alam dan hak-hak budaya masyarakat lokal.

Pertunjukan ini berlangsung dinamis dan riang. Pola pertunjukan teater rakyat yang diadopsi mampu menyuguhkan tontonan yang segar, kocak, sekaligus menggugat kesadaran perihal kekuasaan, terutama pada bagian para pembesar Astinam. Sejak mereka masuk sambil menari, memberi hormat pada Ratu, dan seluruh perangai mereka, dihadirkan dalam sosok yang ganjil, menggelikan, dan tampak sakit. Demikian pula para anggota parlemen. Di balik dandanannya yang perlente sebagai wakil rakyat, mereka mengenakan kaos belang hitam-putih yang biasa dikenakan para bajak laut atau yang mengingatkan banyak orang pada perampok "Kelompok Si Berat" dalam sebuah serial kartun dari Barat.

Baik pembesar Astinam maupun para anggota parlemen, dalam pertunjukan ini dihadirkan sebagai metafora yang merepresentasikan tabiat para penguasa. Penonton dibuat terbahak karena adanya paradoks, antara kedudukan mereka yang terhormat dan kelakuan mereka yang tak normal. Demikian pula dengan cara berpikir mereka.

Paradoks inilah yang dieksplorasi, bukan untuk lantas melulu menghadirkan semacam dagelan, melainkan untuk mendedahkan kesadaran ihwal mentalitas penguasa dari sebuah negara yang menghinakan dirinya di hadapan negara-negara maju demi apa yang mereka percayai sebagai pembangunan. Misalnya, bagaimana Mrs. Joe (Anita Bintang) duta besar negara maju menyuruh Menteri Pertambangan dan Pariwisata (Gatot W.D.) negara Astinam membawakan jas dan sepatunya.

Dan inilah yang dengan kocak menjadi sasaran cemooh dan kritik kedua dalang. Keduanya dengan leluasa "menginterupsi" dialog para pembesar Astinam untuk melontarkan kritiknya, untuk lantas "memerintahkan" adegan dilanjutkan. Pada bagian ini seringkali aktor melakukan improvisasi yang membuat penonton tertawa, misalnya, bagaimana di malam ketiga Rinrin Chandraresmi sebagai dalang menginterupsi sebuah dialog yang setelahnya berseru, "Sok akting deui! (Ayo akting lagi!)".

Sebaliknya, dari dunia para pembesar Astinam, jagat Suku Naga dihuni oleh mereka yang hidup tenang. Dunia ideal dari bagaimana semestinya kemajuan dan modernitas dipahami, tanpa menjadikan alam sebagai benda mati yang dikuasai. Di bagian ini pertunjukan pun menghadirkan permainan para aktor yang mempertaruhkan penguasaan sytle realisme dalam pemeranannya untuk menyaran pada karakter dunia ideal tersebut. Kearifan dan ketegasan Abivasam sebagai kepala suku, semangat dan idealisme Abivara (Deddy Warsana), dan kesetiaan Carlos pada kebenaran.

**

DENGAN bentuk teater arena, di atas sebaran daun-daun bambu yang kering, "Kisah Perjuangan Suku Naga" menyuguhkan totalitas sebuah pertunjukan yang menarik. Orkestra musik yang riuh sejak awal pertunjukan atau gerak mesin yang dimetaforakan oleh tubuh-tubuh manusia bermantel hujan. Gerak yang serempak, kaku, dan meneriakkan slogan-slogan masyarakat industri yang memuja uang dan pasar. Demikian pula orang-orang Suka Naga yang polos, riang, dan taat pada leluhurnya. Totalitas para aktor dan pertunjukan sebagai sebuah ensemble di sini menjadi taruhan.

Paling tidak sejak malam ketiga, pertaruhan dan totalitas inilah yang telah ditunjukkan oleh sejumlah aktor senior seperti Adinda Lutvianti , Wrachma R.A. , Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana, Karensa Dewantoro, Sugiyati Anirun, Irwan Guntari, Irwan Jamal, Adji Sangiadjie, Rinrin Chandraresmi, Gusjur Mahesa, aktor muda Anita Bintang, dan sejumlah aktor muda lainnya yang menghadirkan barisan orang-orang Suku Naga. Orang-orang yang kisahnya menjadi sebuah pertunjukan yang bukan untuk sekadar membuat penonton tertawa.

Akan tetapi, untuk melawan setiap keserakahan ketika keseimbangan dan daya hidup terancam, seperti tulis Rendra yang menjadi koor nyanyian para pemain di ujung pertunjukan. Orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan bisa terjaga. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 15 November 2009

No comments: